/*---- Awal Script Floating-FB--*/ /*---- Akhir Script Floating-FB--*/

Senin, 21 Januari 2013

K.H. Abbas Abdul Jamil

 K.H. ABBAS ABDUL JAMIL 
BUNTET PESANTREN - CIREBON

KETURUNAN
Kyai Abdul Jamil memiliki putra yang berakhiran "AS": Kyai Abbas, Kyai Anas, Kyai Ilyas dan Kyai Akhyas. Jadi, Kyai Annas merupakan adik kandung dari Kyai Abbas. 


Para sejarawan biasa menyebut mereka sebagai Satria Lelana. Pada masa penjajahan para santri inilah yang menjadi mediator anatar pesantren untuk melawan penjajah. Sementara pesantren di mana pun adanya selalu menjadi basis perlawanan yang menakutkan bagi penjajah. Santri keliling ini menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bahkan mereka tidak segan-segan memimpin perlawanan.
Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang lebih dikenal dengan Kiai Abbas Buntet. Lahir pada hari Jumat 24 Dzulhijjah 1300 H (1879 M) di Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat. Abbas kecil belajar kepada ayahnya Kiai Abdul Jamil. Adalah contoh santri lelana tulen. Setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama, dan ilmu kanuragan tentunya, dia dipindahkan ke Pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, dibawah asuhan Kiai Nasuha. Setelah itu, masih di Jawa Barat, dia pindah ke sebuh pesantren salaf (tradisional) di daerah jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan.
Berikutnya, Abbas pindah ke pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Tegal, yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Lalu dia pindah ke sebuah pesantren yang waktu itu sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy'ari. Di sinilah dia bertemu dengan teman-temannya, para santri keliling yang progresif, antara lain Abdul Wahab Chasbullah yang kelak menjadi seorang tokoh terpenting yang memelopori berdirinya organisasi kaum santri bernama Nahdlatul Ulama (NU).
Belum cukup kenyang belajar di Pesantren Tebuireng, Abbas bertolak ke Tanah Hejaz (Saudi Arabia sekarang) untuk memperdalam ilmu. Di sana, dia sempat belajar kepada Kiai Machfudz Termas asal Pacitan Jawa Timur, salah seorang ulama Nusantara yang kesohor di Makkah waktu itu. Di tempat yang sama, dia bertemu dengan semakin banyak santri keliling. Selain Wahab Chasbullah, ada juga Bakir dari Yogyakarta, dan Abdillah dari Surabaya.
Kiai Abbas berada di garda depan perjuangan mengusir Inggris dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Setelah Kiai Hasyim Asy'ari sebagai pemimpin utama NU waktu itu mengeluarkan "Resolusi Jihad" pada 22 Oktober 1945 berupa seruan untuk mengusir penjajah yang ingin kembali menginjak bumi pertiwi. Para kiai dan ribuan santri segera bergerak ke Surabaya. Bung Tomo orator utama dalam peristiwa ini adalah juga termasuk murid Kiai Hasyim Asy'ari yang selalu berkomunikasi aktif.
Ketika Kiai Wahab Chasbullah memimpin pasukan Kiai dan Santri bernama Sabilillah dan Hizbullah, belum mengizinkan serangan sebelum seorang pendekar yang disegani asal Cirebon datang. Dialah Kiai Abbas Buntet. Kiai Abbas datang bersama rombongan dan langsung bergabung ke dalam barisan perang. Kiai Abbas terkenal sakti dan paling berjasa meledakkan pasukan tempur Inggris yang tidak sebanding dengan senjata para pejuang kemerdekaan waktu itu.
Hanya beberapa orang santri keliling yang terekspos dalam catatan sejarah apalagi sebagai seorang pahlawan nasional, termasuk Kiai Abbas sendiri. Sejarah nasional Indonesia lebih senang menuliskan peristiwa-peristiwa besar atau tokoh-tokoh besar yang punya pengaruh besar. Kaitannya dengan tokoh, terutama sekali para tokoh yang punya hubungan erat dengan penguasa, entah bersahabat atau bermusuhan, atau juga para tokoh yang ditulis oleh para pencatat dan pelancong yang dibawa oleh penguasa. Belakangan ada kesadaran sejarah baru, mengamati sejarah dari perspektif yang kecil-kecil seperti tokoh-tokoh kecil dari daerah-daerah kecil atau tentang fenomena kecil seperti santri keliling yang mungkin adalah sejarah dalam arti yang sesungguhnya; sejarah peradaban. [a khoirul anam]

PERISTIWA 10 NOVEMBER
Di balik peristiwa dahsyat 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai “Hari Pahlawan” itu, sejarah mencatat nama seorang tokoh ulama dari kota Cirebon yang saat itu kedatangannya di kota Surabaya amat dinantikan. Bahkan, saat Bung Tomo datang berkonsultasi kepada K.H. Hasyim Asy'ari guna meminta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Sekutu, Kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan baru akan dimulai saat ulama dari Cirebon sudah datang. Ulama yang dimaksud adalah K.H. Abbas, pengasuh Pesantren Buntet, Cirebon. 

Beliau adalah Kiai Abbas bin Abdul Jamil, lahir Jum’at 24 Dzulhijjah 1300H (tahun 1879M), di Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat. Ia adalah putera sulung Kiai Abdul Jamil, Putra Kiai Muta’ad, sedangkan Kiai Muta’ad adalah menantu Mbah Muqayyim (pendiri pesantren Buntet Cirebon).

(Berikut kisah perjalanan Kiai Abbas dari Cirebon ke Surabaya, diambil dari penuturan Abdul Wachid, salah seorang pengawal Kiai Abbas)

RIBUAN ALU DAN LESUNG BETERBANGAN

Pada hari itu, kalau tidak salah tanggal 6 November 1945, saya dengan tiga orang, yaitu Usman, Abdullah, dan Sya'rani, mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30, rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat, meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Dalam rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut K.H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.

Waktu itu Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki terompah (sandal jepit kulit). Beliau menyerahkan sebuah kantung kepada saya. Saya merabanya, ternyata isinya sandal bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai terompah? Atau senjata perang? Masa, senjata kok bakyak?

Sekitar pukul 17.00, kereta api yang kami tumpangi masuk di stasiun Rembang, Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang. Malam harinya, ba'da shalat lsya, para ulama, yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando atau kepemimpinan pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan, komando pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.

Ba'da shalat Subuh, Pondok Pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya. Saat itu banyak pula yang berseragam Hizbullah. Di halaman masjid sudah ada dua mobil sedan kuno berkapasitas empat orang penumpang.
Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon dan meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya kepada saya. Kiai Abbas juga menyuruh kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai kembalinya dari Surabaya.

Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil, Kiai Bisri di jok belakang sementara Kiai Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir "Allahu Akbar!!!" dan pekik "Merdeka!!!" yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan bergerak meninggalkan Pondok Pesantren Rembang.

Setelah hampir sepekan kami berada di Pondok Pesantren Rembang, beberapa lasykar Hizbullah yang merupakan santri Pondok Pesantren Rembang datang. Kedatangannya disambut oleh para santri, termasuk juga kami. Mereka pun langsung diberondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan kota Surabaya.

Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai datang, mereka langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Para kiai itu lalu masuk ke masjid dan melakukan shalat sunnah. Usai shalat sunnah, Kiai Abbas memerintahkan kepada pendampingnya, Kiai Achmad Tamin, untuk berdoa di tepi kolam masjid. Kepada Kiai Bisri dari Rembang, Kiai Abbas memintanya agar memerintahkan para lasykar dan para pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudhu dan meminum air yang telah didoai.

Tak menunggu lama, mereka pun segera berwudhu di sana. Ada dari mereka yang mungkin merasa kurang dengan hanya berwudhu hingga menerjunkan diri masuk ke dalam kolam. Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan Arek-arek Surabaya menyerbu Belanda dengan diiringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang disambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda.

Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Terutama dari pihak kita, yang hanya bersenjata bambu runcing, pentungan, atau golok seadanya, yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.
"Kami dengan para kiai berada di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana," kata santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang.

Saat itu, santri Rembang itu melanjutkan kisahnya, Kiai Abbas mengenakan alas kaki bakyak berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. "Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu-serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan mereka pun mundur ke kapal induk mereka."

PESAWAT MELEDAK SEBELUM BERAKSI
Tidak lama kemudian, pihak Sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Tapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum beraksi. Kemudian beberapa pesawat Sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan kota Surabaya, namun pesawat-pesawat itu pun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi.

"Di situlah kehebatan Kiai Abbas yang saya saksikan sendiri," kata santri Rembang meyakinkan para santri lainnya saat itu. Keesokan harinya, ia melanjutkan kesaksiannya, pihak musuh datang lagi berbondong-bondong. Dengan menggunakan tank-tank dan truk-truk, mereka menyerang kubu-kubu pertahanan lasykar kita dengan iringan dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya. Tentara dan lasykar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya. Menjelang malam hari tiba, pertempuran mereda. Hanya beberapa tembakan kecil yang masih terdengar di sana-sini.

Kemudian kami diperintah pulang oleh Kiai Bisri untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa Pak Kiai (Kiai Bisri) dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat, sehat wal afiat. Warga pondok dan masyarakat Rembang diminta untuk berdoa kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan, dan kemenangan bagi para pejuang kita yang sedang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.

Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya, Kiai Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya, datang. Dari mereka, kami tidak banyak memperoleh informasi tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami, para pengawal dari Cirebon, diperintahkan berkemas¬-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon. Dengan menumpang Kereta Api Express, pukul 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat sekitar pukul 17.30.
Sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan. Tampaknya Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang teramat sangat. Selama di Surabaya, Kiai Abbas ku¬rang istirahat dan kurang tidur.

(Disadur dari Majalah Alkisah No. 22/ 1-14 Nov 2010)
 

Comments
0 Comments

0 comments :

Posting Komentar

Cool Blue Outer Glow Pointer